Namaku Radit,
aku adalah seorang anak keluarga yang serba kekurangan. Ayahku hanya seorang petani,
dan ibuku adalah buruh cuci. Tapi meski dengan hidupku yang kekurangan, aku
memiliki cita-cita besar meskipun agak “kekanak-kanakan”. Aku bercita-cita jadi
superhero, misalnya seperti Spiderman dengan jaring laba-labanya, The Flash
yang dapat mengelilingi dunia hanya dengan kedipan mata, ataupun jadi Hulk yang
begitu marah bisa menghacurkan apa saja. Yah, mentok-mentok Gatot Kaca, pahlawan khas Indonesia.
Hari itu aku berjalan menuju
sekolahku SMP Al-Ikhlas, sekolahku ini sangat mewah alias mepet sawah, atau biar lebih keren didekat pematang, cie elah. Aku
memang terbiasa berangkat pagi-pagi, jadi tidak heran aku sering membantu
membuka gerbang sekolah. “Hei,gi-pagi udah datang aja,” sapa temanku Kurniawan,
atau biasa dipanggil awan. Aneh ya? Dari Kurniawan bisa dipanggil Awan, gak
pantes. “Oh iya lah, wan! Radit gitu loh!” jawabku menyombongkan diri. “Alah,
sombong banget kau!” jawabnya sambil bercanda. “Hoy, pagi-pagi udah rame aja
kalian berdua,” kata seseorang yang ternyata adalah Yunus, teman sebangku-ku.
“Tau nih! Sombong banget nih makhluk hahaha!” jawab Awan sambil mendorong
punggungku. “Hahaha, eh kalian berdua nonton Justice League gak kemarin?”
kataku membuka pembicaraan, aku dan kedua temanku ini mempunyai hobi yang sama,
superhero. “Iya, wah keren banget Supermannya!” kata Yunus berbinar-binar.
“Keren juga The Flash!” jawab Awan tak mau kalah. “Hahaha, semuanya keren kok,
mudah-mudahan kita bisa jadi kayak mereka, ya!” kataku kepada kedua temanku.
“Yah, mana bisa, mereka kan tokoh fiksi, lagian impossible banget kartun bisa
jadi kenyataan,” jawab Awan. “Gak ada yang mustahil kok! Percaya aja!,” jawabku
menyemangati diikuti anggukkan Yunus. “Eh, udah dulu yuk, udah mau masuk nih,”
kata Yunus sambil melihat jam. “Oke!” jawab kami berdua.
“Ting!~ Ting!~,” bel sekolah
berbunyi tanda waktu pulang telah tiba. Aku, Awan, dan Yunus pun pulang bersama
karena memang rumah kami tidak terlalu berjauhan, hanya berbeda beberapa rumah.
“Haduh, capek banget hari ini!” kata Awan sambil meregangkan tangannya. “Iya,nih!
Malah guru ngasih tugas banyak
banget,” sambungku sambil membolak-balik buku mengecek tugas hari itu.
“Semangat dong! Toh kalau kita gak dikasih tugas kan dirumah gak ada kerjaan?”
kata Yunus. Kami pun berjalan dan kemudian terdengar teriakan “Tolong! Tolong!”.
“Hey, dengar gak?” kataku sambil menyetop kedua temanku. “Iya dengar, dimana
ya?” kata Awan sambil melihat-lihat sekitar, dan ternyata asalnya dari
semak-semak sempit. Kami sering sekali lewat hutan kecil karena menurut kami
lebih cepat kerumah lewat sana. “Ayo kita cari!” kataku diikuti anggukkan kedua
temanku, kami pun mengendap-endap berjalan mengikuti teriakan itu.
“Hey,diam! Kalau kamu teriak
terus, aku bunuh kau!” kata seorang laki-laki yang berumur sekitar 30 tahun.
“Tolong kasihani saya om!” kata seorang wanita berjilbab yang kira-kira masih
berumur 17 tahun. “Jangan panggil om,dong! Panggil akang aja, hahaha!” jawab
laki-laki itu sambil membuka jaket dan bajunya. “Waduh, gawat nih! Kita harus
tolong tuh mbak!” kata Yunus. “Betul! Kalau gak runyam nih!” sambung Awan
berbisik-bisik. “Nah! Aku ada ide, kalian masih simpan sirine pas pelajaran
elektro tadi kan?” kataku sambil mengingatkan mereka tentang praktikum tadi.
“Iya! Masih kok,” jawab mereka serentak. “Sip! Sekarang Yunus kesana, Awan kesana,
dan tunggu tanda dariku, begitu aku kasih tanda, bunyikan sirine nya dengan
volume paling besar!” kataku menjelaskan diikuti anggukkan mengerti oleh kedua
temanku dan mereka langsung ambil posisi. “Nah, sekarang giliranku,” pikirku
sambil mencari sebuah batu dan ketemu, “Bismillahirrahmanirrahim,” jawabku
sambil kemudian melesakkan batu ke kepala laki-laki itu. “Jtak,” tepat mengenai
kepala laki-laki itu. “Sial, siapa yang lempar batu ini!” jawabnya marah.
“Hey,om! Beraninya sama cewek, sini kalau berani!” kataku. “Kurang ajar kamu
ya!” kata laki-laki itu berusaha mengejarku. Aku pun mengangkat tanganku dan
seolah mengerti tandanya, kedua temanku membunyikan sirine sesuai perkataanku.
“Polisi! Tolong!” sambil melambaikan tangan yang aku angkat tadi. “Hah! Polisi!
Aku harus kabur!” kata laki-laki itu kabur, namun ternyata banyak warga sana
yang mendengar sirine kami, dan salah satunya Pak RT kami. “Pak, tangkap orang
itu, dia mengganggu mbak ini!” teriak Awan sambil menunjuk mbak tadi. Akhirnya
lelaki itu kemudian ditangkap oleh seluruh warga.
“Mbak? Mbak tidak apa-apa, kan?”
kata Yunus. “Tidak apa-apa,dik. Terima kasih sudah menolong,mbak,” kata mbak
itu sambil tersenyum. “Loh, aninda kok bisa disini?” kata Pak RT. “Iya ayah,
tadi aku naik ojek, dan ternyata tukang ojek itu laki-laki jahat, untuk ada
mereka,” kata mbak itu yang ternyata anak Pak RT. “Oh, jadi mbak anak Pak RT.
Pantes aja saya kayak kenal mbak,” kataku sambil tersenyum. “Jadi gimana dengan
laki-laki itu, pak?” tanya Yunus. “Dia akan bapak kepihak yang berwajib, dan
mungkin kalian akan diminta menjadi saksi. Tidak apa, kan?” kata Pak RT. “Tidak
apa kok, pak!” jawabku sambil tersenyum diikuti kedua temanku.
Semenjak kejadian itu kami-pun
diangkat sebagai Pahlawan Remaja di polisi serta diberi beasiswa bersekolah
oleh salah satu universitas negeri di daerah kami. Orang tua kami pun sangat
bangga dengan kami. Ini menjadi sebuah pelajaran, bahwa jangan pernah
menganggap mimpi itu mustahil meski mimpi itu sangat aneh. Meskipun, kita tidak
bisa menjadi pahlawan super seperti di TV, tapi kita bisa menjadi pahlawan
super bagi keluarga dan bangsa kita sendiri.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar