Senin, 23 September 2013

"Farewell,My Guardian"

“Farewell, guardian”

“Jadi dia itu benar-benar ngeselin,kak! Dia itu gak pernah mau mengerti kalau aku sangat sayang sama dia, dia selalu saja memainkan perasaan aku!”
“Yah, mungkin dia lagi pengen sendiri, makanya dia ngejauh dari kamu, lun.”
“Ya kalau emang dia sayang dengan aku, gak mungkin lah dia nyari gebetan baru kayak gitu.”
Aku masih saja bersikeras dan berpendapat kalau Howard itu telah membuangku. Aku tidak peduli lagi apa yang kak Herald katakan untuk menenangkanku. Rasanya semua kata-katanya hanya angin lalu bagiku
***
Herald sedang duduk-duduk di halaman kelas sambil membaca sebuah novel. Herald memang memiliki kebiasaan seperti ini saat pulang sekolah. Berbeda dengan kebanyakan murid yang begitu bel berbunyi mereka langsung saja pergi ke parkiran sekolah dan langsung menyalakan kendaraan kemudian pergi dari sekolah.
“Kak herald!” teriak seseorang dari jauh.
“Oh,hey!” jawab Herald sambil menutup bukunya,
“Dah lama banget ya kak? Maaf aku tadi lagi nungguin teman pulang, gak enak kalau aku ikut rapat tapi dianya malah aku tinggal” katanya dengan nada menyesal.
“Hem, gak kok, gak lama-lama banget kok, lun!. Ya udah yuk kita ke ruang rapat sekarang, dah ditungguin nih sama chairwoman kita” jawabnya sambil tersenyum.
***
“Luna Dwita Purnama!” teriak seorang mbak tingkat memanggil namaku.
“Iya,mbak. Aku?” kataku penasaran.
“Berhubung kami sebentar lagi bakal di lepas jabatan, kami bakal menentukan re-organisasi, dan rencana kami, kamu yang bakal jadi penerus mbak sebagai ketua” jelas mbak Windy, ketua University English Community, atau disingkat UNESCO.
“Loh, kenapa aku, mbak?” tanya Luna heran.
“Ya, sebenarnya sih kami ingin ketua tahun ini laki-laki. Tapi berhubung lelakinya... hmm, bisa dibilang punah, maka kami menunjuk kamu untuk jadi ketuanya” kata mbak Windy mantap.
“Tapi...”
“Hei, sudah lah! Jalanin dulu aja,lun. Kakak pasti bantu kamu kok” potong Herald.
“Baiklah kalau kakak bilang begitu” jawab Luna menyerah.
*
“Ihh, kakak kok gitu sih, aku kan gak ngerti cara memimpin L
“Ya kalau kamu belum pernah nyoba kapan kamu ngertinya :D”
“Ya tapi kakak kan tahu, akhir-akhir ini aku sering ada masalah dengan Howard”
“Hoo, lelaki itu lagi. Gak bosen apa kamu mikirin dia terus”
“Ya gimana dong, habisnya aku masih sayang sama dia”
“Meski dia sudah bahagia dengan yang lain?”
“Meskipun dia sudah bahagia dengan yang lain”
“Huh, dasar. Dengan begini kamu nunjukkin kamu itu lemah sama lelaki, baru diputusin aja efeknya udah kayak gini. Gimana lebih, udah tiduran di rel kali kamu”
“Ih kakak gak gitu juga lah. Kakak kali yang kayak gitu sama mbak Vina hahaha”
“Ye, jangan bahas dia kenapa... by the way, kakak suka liat kamu ketawa, kakak selalu pengen liat kamu ketawa, walaupun kakak cuma senior kamu”
“Haha kakak itu bukan cuma senior. Kakak itu dah kayak kakak aku.”
“Oh, begitu ya J
“Iya, kenapa? Kakak gak suka ya?”
“Ngga kok, hanya saja...”
“Kenapa?”
“Ah sudahlah, kakak ngantuk, good night Lun J
“Huu dasar, good night kak J
“Seandainya kamu tahu Lun. Bahwa ada seseorang yang lebih menyayangimu, daripada lelaki itu.” pikir Herald setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Luna di Blackberry Mesenggernya.
*
“So, in the end of my speech i confirm you as a chairwoman of this organization” kata seorang dosen yang juga pembimbing organisasi kami. Dan akhirnya jabatanku sebagai ketua dikukuhkan.
“Thank you, mister. I hope this organization will be success on my hand.”
“Lunaaa! Congratulation!” teriak mbak Windy sambil memelukku.
“Iya, mbak! Makasih ya!” balasku sambil tersenyum bahagia.
“Hehe iya, oh iya, mbak kesana dulu ya, mau membicarakan program kerja untuk tahun depan dengan dosen” jawabnya sambil ngeluyur pergi.
“Hei, selamat ya J” kata kak Herald, tapi wajahnya tidak menunjukkan kalau dia sedang bahagia.
“Kakak kenapa?” tanyaku penasaran.
“Nothing,lun” jawabnya datar.
“Tuh kan, kakak gitu deh, selalu saja tiap ada masalah pasti disimpan sendiri. Gak pernah mau cerita dengan aku, padahal kakak selalu baik dan setia dengerin keluh kesahku” kataku dengan wajah cemas.
“... kakak putus dengan Vina”
Jger! Pernyataan yang langsung membuatku terdiam. Bagaimana mungkin hubungan orang yang terlihat baik-baik saja tiba-tiba putus tanpa memperlihatkan tanda hubungannya meregang.
“Kok bisa kak?” kataku yang masih kaget dan heran.
“Ntahlah, kakak mutusin dia, karena dia udah bukan yang dulu lagi, mungkin dia juga sudah bosan, dilihat dari responnya yang biasa saja ketika kakak bilang mau putus” jawab kak Herald
“Oh begitu ya” kataku merasa bersalah sudah menanyakan tentang hal ini.
“Hei! Sudahlah tidak usah dipikirkan, lebih baik kamu sapa adik tingkatmu dan pikirkan rencana kalian tentang organisasi :D” jawabnya tersenyum lebar. Ntah senyum yang tulus atau hanya senyum untuk menutupi luka yang dalam.
*
6 month later
“Kak! Senang banget deh hari ini!”
“Senang kenapa? Jangan bilang dikasih hadiah karena dapat beasiswa dari universitas, bikin iri aja”
“Salah satunya sih itu, hahah :D. Tapi yang mau aku kasih tahu itu kalau aku akhirnya balikan dengan Howard”
“Oh,ya? Bagus deh hehe”
“Hahaha ya kakak juga dong sama mbak Vina”
“Hem? Gak ada niat untuk itu”
“Oh begitu, ya udah cepat nyusul ya, cari yang 1 universitas aja, biar bisa saya ledek-ledekin pasangan baru hahaha”
“Hehe...”
*
“Kak Herald kemana ya, kok mesengger gak di bales, udah gak pernah masuk kuliah” pikir Luna
Akhirnya Luna pergi ke kost Herald untuk menemuinya.
“Oalah, nak Herald. Seingat bibi, dia udah gak kost disini lagi, dia udah pindah ke Jerman” jawab bibi itu ketika Luna  bertanya keberadaan Herald.
“APA?! PINDAH?! Kenapa dia gak beritahu Luna sih” kata Luna setengah berbisik, tapi ternyata terdengar oleh bibi penjaga kost.
“Oh kamu yang namanya Luna, ini, ada titipan dari Herald untuk kamu”
“Apa ini?”
*
“Herald, kamu kenapa?”
“Tidak apa-apa bu” jawab Herald kepada ibunya.
“Semoga kamu menerimanya” pikir Herald sambil melihat suasana malam kota Jakarta yang semakin hilang ditutup awan, yang tersisa hanya sayup-sayup bunyi mesin pesawat terbang.
“Farewell, my love”
*
Luna sedang melihat langit malam sambil meneteskan air matanya. Di tangannya masih ada surat dan beberapa foto dirinya dengan Herald.
Dear Luna,

            Pertama, aku minta maaf, karena keberangkatanku yang tiba-tiba, kamu pasti bakal marah padaku, hehe. Aku berharap surat ini sampai padamu, karena setelah sampai di Jerman, semua jaringan komunikasiku, baik messengger, facebook, twitter,dll akan aku tutup, demi konsentrasiku saat belajar disana. Dan aku juga tidak tahu apakah aku bisa bertemu denganmu lagi atau tidak.
 Bagaimana kabarmu dan Howard, aku harap kalian berdua tetap romantis dan tidak ada masalah lagi.Aku tidak tahu harus bilang apa, aku iri. Bukan karena kamu mendapat beasiswa, bukan karena hubunganmu dengan Howard. Tapi aku iri dengan Howard, karena dia bisa membuatmu menutup hati untuk semua lelaki lain, walaupun dia sudah menyakitimu.
            Aku tahu, sebagai seorang kakak, aku tidak pantas berkata ini, karena itu hanya akan menodai persaudaraan kita. Tapi aku mengatakan ini sebagai seorang lelaki yang mencintai seorang wanita.
            Ya, kamu tidak salah baca. Yang ingin aku katakan padamu adalah, aku mencintaimu Luna. Kuharap semua memory indah kamu dengan aku, dapat menjadi penenang saat aku sedang rindu denganmu :’).

Your “brothers”, Herald

Luna kemudian menghapus air matanya. Dia sadar, bahwa dia terlalu berharap dengan laki-laki yang jauh darinya. Tanpa memperdulikan lelaki yang dekat dengannya, yang selalu siap mendengar keluh kesahnya, dan membantunya melangkah dari keterpurukannya.
“Farewell, my guardian” jawab Luna seraya menatap bintang-bintang yang bersinar dilangit.

"Sang Superhero"


                Namaku Radit, aku adalah seorang anak keluarga yang serba kekurangan. Ayahku hanya seorang petani, dan ibuku adalah buruh cuci. Tapi meski dengan hidupku yang kekurangan, aku  memiliki cita-cita besar meskipun agak “kekanak-kanakan”. Aku bercita-cita jadi superhero, misalnya seperti Spiderman dengan jaring laba-labanya, The Flash yang dapat mengelilingi dunia hanya dengan kedipan mata, ataupun jadi Hulk yang begitu marah bisa menghacurkan apa saja. Yah, mentok-mentok Gatot Kaca, pahlawan khas Indonesia.
Hari itu aku berjalan menuju sekolahku SMP Al-Ikhlas, sekolahku ini sangat mewah alias mepet sawah, atau biar lebih keren didekat pematang, cie elah. Aku memang terbiasa berangkat pagi-pagi, jadi tidak heran aku sering membantu membuka gerbang sekolah. “Hei,gi-pagi udah datang aja,” sapa temanku Kurniawan, atau biasa dipanggil awan. Aneh ya? Dari Kurniawan bisa dipanggil Awan, gak pantes. “Oh iya lah, wan! Radit gitu loh!” jawabku menyombongkan diri. “Alah, sombong banget kau!” jawabnya sambil bercanda. “Hoy, pagi-pagi udah rame aja kalian berdua,” kata seseorang yang ternyata adalah Yunus, teman sebangku-ku. “Tau nih! Sombong banget nih makhluk hahaha!” jawab Awan sambil mendorong punggungku. “Hahaha, eh kalian berdua nonton Justice League gak kemarin?” kataku membuka pembicaraan, aku dan kedua temanku ini mempunyai hobi yang sama, superhero. “Iya, wah keren banget Supermannya!” kata Yunus berbinar-binar. “Keren juga The Flash!” jawab Awan tak mau kalah. “Hahaha, semuanya keren kok, mudah-mudahan kita bisa jadi kayak mereka, ya!” kataku kepada kedua temanku. “Yah, mana bisa, mereka kan tokoh fiksi, lagian impossible banget kartun bisa jadi kenyataan,” jawab Awan. “Gak ada yang mustahil kok! Percaya aja!,” jawabku menyemangati diikuti anggukkan Yunus. “Eh, udah dulu yuk, udah mau masuk nih,” kata Yunus sambil melihat jam. “Oke!” jawab kami berdua.
“Ting!~ Ting!~,” bel sekolah berbunyi tanda waktu pulang telah tiba. Aku, Awan, dan Yunus pun pulang bersama karena memang rumah kami tidak terlalu berjauhan, hanya berbeda beberapa rumah. “Haduh, capek banget hari ini!” kata Awan sambil meregangkan tangannya. “Iya,nih! Malah guru ngasih tugas banyak banget,” sambungku sambil membolak-balik buku mengecek tugas hari itu. “Semangat dong! Toh kalau kita gak dikasih tugas kan dirumah gak ada kerjaan?” kata Yunus. Kami pun berjalan dan kemudian terdengar teriakan “Tolong! Tolong!”. “Hey, dengar gak?” kataku sambil menyetop kedua temanku. “Iya dengar, dimana ya?” kata Awan sambil melihat-lihat sekitar, dan ternyata asalnya dari semak-semak sempit. Kami sering sekali lewat hutan kecil karena menurut kami lebih cepat kerumah lewat sana. “Ayo kita cari!” kataku diikuti anggukkan kedua temanku, kami pun mengendap-endap berjalan mengikuti teriakan itu.
“Hey,diam! Kalau kamu teriak terus, aku bunuh kau!” kata seorang laki-laki yang berumur sekitar 30 tahun. “Tolong kasihani saya om!” kata seorang wanita berjilbab yang kira-kira masih berumur 17 tahun. “Jangan panggil om,dong! Panggil akang aja, hahaha!” jawab laki-laki itu sambil membuka jaket dan bajunya. “Waduh, gawat nih! Kita harus tolong tuh mbak!” kata Yunus. “Betul! Kalau gak runyam nih!” sambung Awan berbisik-bisik. “Nah! Aku ada ide, kalian masih simpan sirine pas pelajaran elektro tadi kan?” kataku sambil mengingatkan mereka tentang praktikum tadi. “Iya! Masih kok,” jawab mereka serentak. “Sip! Sekarang Yunus kesana, Awan kesana, dan tunggu tanda dariku, begitu aku kasih tanda, bunyikan sirine nya dengan volume paling besar!” kataku menjelaskan diikuti anggukkan mengerti oleh kedua temanku dan mereka langsung ambil posisi. “Nah, sekarang giliranku,” pikirku sambil mencari sebuah batu dan ketemu, “Bismillahirrahmanirrahim,” jawabku sambil kemudian melesakkan batu ke kepala laki-laki itu. “Jtak,” tepat mengenai kepala laki-laki itu. “Sial, siapa yang lempar batu ini!” jawabnya marah. “Hey,om! Beraninya sama cewek, sini kalau berani!” kataku. “Kurang ajar kamu ya!” kata laki-laki itu berusaha mengejarku. Aku pun mengangkat tanganku dan seolah mengerti tandanya, kedua temanku membunyikan sirine sesuai perkataanku. “Polisi! Tolong!” sambil melambaikan tangan yang aku angkat tadi. “Hah! Polisi! Aku harus kabur!” kata laki-laki itu kabur, namun ternyata banyak warga sana yang mendengar sirine kami, dan salah satunya Pak RT kami. “Pak, tangkap orang itu, dia mengganggu mbak ini!” teriak Awan sambil menunjuk mbak tadi. Akhirnya lelaki itu kemudian ditangkap oleh seluruh warga.
“Mbak? Mbak tidak apa-apa, kan?” kata Yunus. “Tidak apa-apa,dik. Terima kasih sudah menolong,mbak,” kata mbak itu sambil tersenyum. “Loh, aninda kok bisa disini?” kata Pak RT. “Iya ayah, tadi aku naik ojek, dan ternyata tukang ojek itu laki-laki jahat, untuk ada mereka,” kata mbak itu yang ternyata anak Pak RT. “Oh, jadi mbak anak Pak RT. Pantes aja saya kayak kenal mbak,” kataku sambil tersenyum. “Jadi gimana dengan laki-laki itu, pak?” tanya Yunus. “Dia akan bapak kepihak yang berwajib, dan mungkin kalian akan diminta menjadi saksi. Tidak apa, kan?” kata Pak RT. “Tidak apa kok, pak!” jawabku sambil tersenyum diikuti kedua temanku.
Semenjak kejadian itu kami-pun diangkat sebagai Pahlawan Remaja di polisi serta diberi beasiswa bersekolah oleh salah satu universitas negeri di daerah kami. Orang tua kami pun sangat bangga dengan kami. Ini menjadi sebuah pelajaran, bahwa jangan pernah menganggap mimpi itu mustahil meski mimpi itu sangat aneh. Meskipun, kita tidak bisa menjadi pahlawan super seperti di TV, tapi kita bisa menjadi pahlawan super bagi keluarga dan bangsa kita sendiri.

Tamat